RUANG OPINI - RA
6 min readMay 6, 2024

Nama Penulis : Khairul Zaidan

Kelas : R6A

NPM : 202115500004

Peristiwa Genting Pada Puncak Masa Bersiap Pasca Merdeka

Era pasca kemerdekaan merupakan era baru dimana kebebasan baru dicapai sepenuhnya, banyak penataan yang dilakukan secara baru, seperti penataan wilayah negara dan bertambahnya provinsi di Indonesia, penataan politik dan berkembangnya paham komunis di Indonesia, pembersihan kolonialisme dan imperialisme di Indonesia, dan Pembangunan ekonomi di masa awal kemerdekaan. Hal tersebut tentu tidak berjalan secara semestinya, banyak terjadi gangguan intern atau ekstern. Menghapus kolonialisme tidak cukup hanya dengan menyatakan proklamasi dan mengganti sistem pemerintahan era kolonialisasi, tetapi dilakukan juga pengusiran para penjajah (Terutama orang Belanda) dan pribumi yang berkaitan dengan para penjajah yang dilakukan oleh laskar pejuang dibeberapa daerah. Peristiwa ini terjadi pada periode revolusi kemerdekaan (1945–1946), yaitu disebut dengan masa bersiap.

Masa Bersiap memang tabu untuk saat ini, dikarenakan kurangnya edukasi atas penjelasan peristiwa tersebut atau karena peristiwa tersebut berisikan kekerasan hingga dianggap kurang pantas dijadikan sejarah umum, Bonnie Triyana (2022), mengatakan “Jika kita menggunakan istilah bersiap secara umum untuk kekerasan kepada Belanda selama periode tersebut, hal ini berkonotasi sangat rasis”. Oleh sebab secara historiografi, kajian sejarah harus diketahui oleh kalangan masyarakat karena berisi dengan fakta dan sangat berpengaruh dengan apa yang terjadi saat ini, Sarjono Kartodirdjo (1982:12), mengatakan “Gambaran masa lalu manusia dan sekitarnya sebagai mahluk sosial yang disusun secara ilmiah dan lengkap. Meliputi urusan fakta masa tersebut dengan tafsiran dan penjelasan yang memberikan pengertian pemahaman tentang apa yang telah berlalu”.

Metode dalam penulisan ini menggunakan metode historiografi, yang dibagi menjadi 4 tahap, yaitu heuristic (mengumupulkan sumber), kritik (verifikasi sumber), interpretasi (sudut pandang atau penafsiran) dan historiografi (penulisan sejarah secara ilmiah). Sumber-sumber yang didapatkan hanya berupa sumber tertulis (jurnal, artikel, buku, arsip) yang sangat berkaitan dengan masa bersiap, dikarenakan keterbatasan sumber lisan.

Selanjutnya, dilakukannya kritisi dari segi fisik maupun segi isi bertujuan untuk memperoleh fakta yang relevan terkait topik pembahasan. Fakta- fakta tersebut diinterpretasi oleh penulis dengan analisa dan menyatukan (sintesis) hal ini ditujukan untuk menemukan pandangan baru dari Sejarah yang menjadi topik bahasan. Setelah itu penyusunan Sejarah dilakukan secara urutan kronologis dan sistematika, agar bisa mendeskripsikan situasi, keadaan, dan proses keberlangsungan pada kejadian.

Semangat kemerdekaan menyuat para pemuda Indonesia, mereka melakukan serangan kepada orang Belanda, Indo-Belanda dan pribumi yang bersekutu dengan Belanda, dengan itu masa Bersiap bergulir pada periode revolusi. Kekerasan dan anarkisme ini terjadi di wilayah pulau Jawa dan pulau Sumatera. Setelah kemenangan yang didapatkan Belanda pada perang dunia ke 2, menjadikan para penduduk Belanda di Indonesia bertindak semaunya kepada rakyat Indonesia dan tidak menghiraukan kalau Indonesia sejatinya telah memproklamirkan kemerdekaan. Menurut Herman Bussemaker (2013), mengatakan “Periode masa Bersiap pada umumnya terjadi antara September 1945 dan awal 1946. Selain itu, seringkali juga aksi kekerasan eksesif dilakukan sebagian mereka, sebagai balas dendam atas apa yang dilakukan para pejuang, pemuda milisi atau tentara TNI (sebelumnya BKR, lalu TRI) kepada penduduk sipil Belanda selama periode bersiap”.

Masa Bersiap ini sangat memunculkan tindak anarkisme di beberapa wilayah di Jawa, tindak anarkis yang banyak terjadi berupa pemerkosaan, pengusiran, intimidasi, penyikasaan hingga pembunuhan massal. Di Jawa Barat khususnya di daerah Bogor dan Depok. Pada Oktober 1945 munculnya kekacauan di Bogor. Mencuat laporan bahwa minggu pertama pada bulan itu terjadi penculikan-penculikan yang dilakukan barisan pelopot terhadap eropa (Orang Belanda). Walaupun sudah ada keamanan yang mengawasi akan Tindakan yang dilakukan pribumi di wilayah Bogor. Tetapi pengawasan amat lah kurang dan belum cukup untuk mencegah anarkisme para pendukung RI yang melampiaskan perasaan tersebut kepada orang-orang asing, terutama orang Eropa dan Indo, dengan cara keji di Bogor, ada dua kamp Bersiap (kamp interniran) yang terletak di Depok dan Bogor, Menurut Anne Janse (2019:1) mengatakan “Pada bulan Agustus 1945, di Tjideng, sebuah kamp tahanan tempat kuhabiskan waktuku Bersama ibuku di tahun-tahun terakhir masa pendudukan Jepang”. Situasi di Depok sangat mencekam pada bulan ini sehingga beberapa orang Depok yang beragama Kristen berangkat ke Jakarta untuk meminta bantuan keamanan dari Sekutu. Namun permintaan tersebut ditolak dengan alasan tidak ada perintah resmi, dan mereka kembali ke Depok dengan tangan hampa (Bussemaker, 2005:146).

Disisi lain, ancaman kembali dilakukan oleh para pemuda secara meningkat dan mencapai puncaknya pada 10 Oktober 1945. Komplek perumahan kaum belanda dijarah, sementara para penghuni ditangkap satu persatu dan dikumpulka di balaikota. Terlapor 33 orang non pribumi Depok tewas. Di tempat lain, kaum laki laki diculik dan dibawa ke Bogor, menyisakan para perempuan dan anak-anak. Sekitar 1050 perempuan dan anak-anak ditawan di suatu Gudang yang sangat sempit, tanpa diberi makanan dan minuman yang cukup. Pasukan pelopor mulai membakar gudang yang berisikan banyak manusia di dalam sana. Lebih lanjut, pada 13 Oktober 1945 dilaporkan 10 orang warga Depok dibunuh. Semua penduduk eropa diburu oleh BKR dan Pelopor (dikenali dari ban/pita yang diikatkan di lengannya). Mereka ditangkap dan dikumpulkan di belakang stasiun Depok (Depok Lama). Di tempat itu, baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak ditelanjangi hingga tersisa pakaian dalam saja, sementara semua pakaian dan perhiasannya dirampas oleh para perampok yang ada di tempat itu di bawah pengawasan Barisan Pelopor (Iskandar, 2008:10). Keterlibatan BKR dan Pelopor dalam aksi-aksi perampokan ini kontradiktif dengan tugas dan kewajibannya memelihara keamanan dan ketertiban. Sejauh ini, penyebab umum mengapa kedua golongan ini terlibat karena lemahnya koordinasi Polisi dan BKR yang seharusnya menjaga keamanan, termasuk sikap pasif aparat RI untuk menindak tegas aksi-aksi tersebut (Iskandar, 2008:11). Ini yang membuat aparatur negara tidak berdaya akan menumpas pala pelaku penganiayaan orang-orang Eropa dan Indo selama Masa Bersiap.

Pembunuhan dan perampokan di Depok terjadi di sekitar distrik Depok sampai Kalibata. Menurut Nasution (1977:530) mengatakan “Orang-orang Kristen yang dapat menyelamatkan diri lari ke kamp NICA di Jakarta untuk mencari perlindungan”. Pada 16 Oktober 1945, seorang wartawan bernama Johan Fabricius yang mengendarai sepeda motor dari Jakarta ke Bogor langsung menyadari bahwa di Depok telah terjadi sesuatu yang salah, dan melaporkannya kepada Sekutu di Bogor. Sore itu juga satu peleton tentara Gurkha di bawah pimpinan Letnan de Winter sampai di tempat kejadian untuk menyelamatkan kaum interniran tersebut. Esoknya, para tawanan dikumpulkan dan dikirim ke kamp Bogor. Dua orang gadis tewas tertembak peluru nyasar ketika sedang dievakuasi (Bussemaker, 2005:146).

Tepat malam hari pada 11 dan 12 Oktober 1945, orang-orang eropa (laki-laki dan anak laki-laki) dibangunkan secara paksa dengan todongan senjata. Diduga para pelaku penculikan ini sebagian besar adalah anggota BKR dan Pelopor revolusi, karena sangat terciri pada pakaiannya. Secara bertahap tawanan Eropa ini digiring ke penjara tua di Pledang dan dimasukkan ke dalam sel sampai menumpuk dalam satu ruangan. Ruangan lain yang hanya cukup untuk 47 orang dipaksakan muat untuk 140 sampai 160 orang. Karena tidak cukupnya ruang, hingga para tawanan ditelantarkan dihalaman luar tanpa pelindung apapun.

Oktober 1945, pada saat itu tawanan menjalani masa tahanan sangat merasakan diskriminasi dan penyiksaan. Hal itu terus terjadi, hingga pada 8 Desember 1945, Inggris mengeluarkan ultimatum supaya Istana Bogor yang diduduki oleh para pemuda dibawah pimpinan A.K. Yusuf diserahkan kepada Sekutu. Ultimatum tersebut langsung ditolak oleh aparat pemerintahan dan keamanan RI. Namun pada akhirnya pihak RI terpaksa meninggalkan Istana oleh karena perintah Ketua KNIP saat itu yaitu Sutan Sjahrir untuk tetap bekerja sama dengan Sekutu, termasuk dengann mematuhi permintaan Sekutu yang bertujuan sesuai dengan tugasnya yaitu untuk menjaga keamanan (Burhan, 1986:49).

Hasil diskusi dari penelitian ini, ialah masa bersiap sangat benar terjadi di Indonesia tepatnya di era pasca kemerdekaan (1945–1946), terutama terjadi di daerah depok dan bogor, ditemukannya beberapa laporan atas korban para tawanan yang meninggal karena disiksa dan dirampas hartanya, seperti yang terjadi di belakang stasiun depok lama. Selain itu secara data yang ditemukan, benar adanya masa bersiap di Bogor. Pada 11 Oktober 1945 para BKR dan pemuda milisi melakukan penculikan dengan menggunakan senjata dengan tujuan menggiring para tawanan eropa ke penjara Pledang.

Kesimpulan dari penelitian ini, yaitu masa bersiap terjadi bukan tanpa alasan, tetapi didasari oleh rasa sakit hati dan dendam yang telah dipendam sangat lama, dikarenakan perlakukan para penjajah sangat menyiksa dalam kurun waktu 350 tahun. Banyak korban yang tak bersalah menjadi target atas keganasan ini. Hal ini juga disebabkan atas rasa ketakutan kaum pribumi akan kembali kedatangan kolonialisme di Indonesia, dan juga disebabkan rasa nasionalisme yang tinggi.

Saran yang membangun dari penulis, yaitu saya ingin menyampaikan bahwasannya sejarah harus terbuka dan diketahui oleh seluruh masyarakat Indonesia, peristiwa penting dimasa lalu sangat berpengaruh pada perubahan saat ini, sebagian contoh kecil dari adanya masa bersiap yaitu munculnya para pemain sepakbola keturunan, yang kini memperkuat timnas Indonesia.

No responses yet